Thursday, March 14, 2013

Cerpen Emak diubah menjadi Drama


EMAK
           
            Emakku adalah sosok wanita yang kukagumi di dunia ini. Dia sangat sabar. Apalagi menghadapi kelakuan Mbak Ika, yang satu tahun ini mulai memburuk padanya semenjak ditinggal Bapak. Kerjanya setiap hari hanya marah dan marah melulu.
            “Ratih....Ratih....Bangun!” teriak Mbak Ika.
            Kulihat jam dinding masih menunjukan angka 4, ya, pagi.
            “Malas,” jawabku ogah-ogahan sambil merapatkan kembali selimut.
            “Ayo bangun! Jangan malas-malasan begitu,” ucapnya seraya merih selimutku kasar.
            “Kenapa sih, sirik amat,” ucapku sambil mengucek-ucek mata.
            “Kamu tahu nggak kunci yang aku taruh di meja makan kemarin?” tanyanya.
            “Enggak,” jawabku singkat dan mengangkat bahu.
            “Pasti dia lagi!”
            “Dia lagi, dia lagi siapa?”
            “Yaah siapa lagi kalau bukan Emak? Biang keladi semua masalah di rumah ini,” jawabnya sinis.
            “Hush!! Nggak baik bilang seperti itu pada orang tua, kualat nanti.”
            “Biarin saja,’ seenaknya dia manjawab sambil berlalu.
            “Maak Emaak!” teriak Mbak Ika lantang.
            “Ada apa Nduk?” tanya Emak.
            “ tahu nggak kunci yang aku taruh di meja ini kemarin? Itu lho kunci warna putih yang ada gantunganya berbentuk mawar,” tanyanya sedikit membentak.
            “ O ituu. Kemari Emak simpan di laci meja itu mungkin. Emak juga agak lupa,” jawab Emak pelan.
            “ Makanya! Kalau sudah merasa pikun, jangan membenahi barang-barang yang bukan milik Emak. Yang punya barang jadi gila karena bingung mencarinya,” sungut Mbak Ika.
            “Sudah-sudah.Gitu saja ribut. Yang penting kuncinya sudah ketemu. Nggak pantas didengar tetangga, setiap hari ribuuut.... Melulu,” leraiku.
            “ Bukannya ’gitu. Aku kan nggak akan marah kalau Emak nggak salah. Dasar orang tua! Sudah mulai pikun,” umpatnya.
            Aku hanya geleng-geleng kepala sedangkan Emak segera beranjak ke dapur dengan wajah sedih.
            Pulang sekolah dengan wajah jengkel aku memasuki halaman rumah.
            ...
            “Mak!! Emak!!!” teriak Mbak Ika.
            “Pasti ada yang tidak beres,” gumamku.
            “Lihat baju ini!” teriaknya sambil menyodorkan sebuah baju ke hadapan Emak.
            “Ada apa dengan baju ini?” tanya Emak.
            “Ada apa, ada apa, masa nggak lihat ada apa di baju ini. Lihat! Apa ini?” tanyanya dengan membentak.
            “Nggak tahu, Nduk.”
            “Nggak tahu, nggak tahu gimana? Tadi, saat aku cuci nggak ada noda kayak gini. Tapi kok sekarang ada? Siapa tadi yang mengambil dari jemuran?”
            “Emak”
            “Nah! Sekarang ngaku saja kalau memang Emak yang membuat noda di baju ini.” Bentaknya kasar.
            “Benar, Nduk. Emak memang nggak tahu. Untuk apa Emak bohong sama kamu?”
`           “Halaahh!! Sudah, pokoknya sekarang harus dicuci sampai bersih. Awas, kalau nanti nodanya nggak hilang, nggak aku beri uang belanja buat besok,” ancam Mbak Ika.
            “Sudahlah. Biar aku saja yang mencuci baju itu,” tawarku.
            “Nggak perlu! Orang tua seperti ini perlu diberi pelajaran supaya jera,” bentaknya.
            Akupun langsung diam.
            ...
            Sore hari saat aku sedang menonton TV, Mbak Ika tiba-tiba memanggilku.
            “Rat, tahu nggak siapa yang membuka lemariku?” tanyanya.
            “Enggak tuh. Memangnya aku masuk ke kamar Mbak,” jawabku enteng.
            “Emak ke mana?” tanyanya lagi.
            “Sedang tidur. Jangan diganggu dulu karena Emak agak tidak enak badan,” jawabku.
            Lalu aku menguntitnya berjalan menuju kamar Emak.
            “Mak bangun! Ada hal penting yang akan aku tanyakan,” ucap Mbak Ika kasar sambil menggoyang-goyangkan tubuh Emak.
            Emak terbangun dengan geragapan.
            “Emak tadi, buka-buka lemari pakaianku nggak?” tanyanya.
            “Iya. Memangnya ada apa, Nduk?” tanya Emak agak gugup karena belum hilang rasa kagetnya.
            “Nggak ada apa-apa sih. Tapi, uangku lima puluh ribu rupiah hilang. Emak yang mengambil?” tanya Mbak Ika dengan nada menuduh.
            “Kalau masalah uang, Emak tidak tahu menahu, Nduk. Dan Emak tidak mengambilnya, betul Nduk,” jawab Emak melas.
            “Halaahh!! Jangan pasang muka nggak  berdosa kayak gitu. Aku yakin, pasti Emak yang mengambil, siapa lagi?? Namanya pencuri di mana-mana pun tidak akan ngaku kalau nggak disiksa dulu,” cerocos Mbak Ika sengit.
            “Aduh Nduk, kamu nggak percaya,” ucap Emak yang mulai menangis.
            “Iya Mbak. Masa nggak kasihan sama Emak. Jangan menuduh dulu sebelum ada bukti,” ucapku membela Emak.
            “Ngaku nggak?! Ayo ngaku, ngaku, ngaku, ngakuuu!!,” teriak Mbak Ika sambil memukuli Emak dengan gagang sapu.
            “Aduh Nduk, sakiiit,” ucap Emak kesakitan.
            “Mbak!! Kamu ini punya otak nggak ha?! Dibilang sudah besar tapi nggak punya pikiran, dibilang masih kecil tapi badannya sudah bongsor. Kamu ini kejam. Sakiit tahu, sakiit. Apa kamu mau dipukuli seperti itu,” teriakku penuah amarah.
            ...
            “Rat, Emak nggak apa-apa kan?! Tanyanya sedikit gugup.
Baru kali ini dapat kulihat sinar kekhawatiran di matanya karena selama ini, yang ada di sana hanyalah sinar kemarahan dan kebencian.
“Rat, kamu kok diam saja sich,” ucapnya gemetar.
“Ik.... Ika...,” panggil Emak lirih.
“Ya, Mak,” jawabnya pelan.
“Syukurlah kalau kamu sudah datang. Emak hanya ingin minta maaf atas segala perbuatan Emak yang kau anggap salah. Nduk, selama ini Emak merasa tidak pantas menjadi ibumu. Sebenarnya Emak haus akan kasih sayangmu, Nduk. Tapi bila kamu memang tidak menghendaki kehadiran Emak, ya tidak apa-apa,” sunyi sekejap.
“Emak sudah memaafkan segala perbuatanmu pada Emak. Dan Emak tidak menyalahkan kamu, Nduk. Karena itu Nduk, karena itu hanyalah luapan amarah semata. Emak hanya minta agar kamu tidak mengulanginya lagi. Rukun-rukunlah kamu dengan adikmu,” jelas Emak.
...
Kulihat wajah Emak yang penuh derita. Namun, di sana kutemui gurat-gurat kasih sayang dan kelegaan.
            “Iya, Mak, aku pun juga mau minta .....”
“Maaaaak!!” teriakku memotong ucapan Mbak Ika.
Saat dia sadar apa yang telah terjadi, dia lunglai dan jatuh bersimpuh. Seketika dia langsung menciumi kedua kaki Emak sambil tidak berhenti memanggilnya.”
~Selesai~

Sumber : cerpen karya Widiyati dari kumpulan cerpen Kupu-kupu di Bantimurung.



EMAK
            (Di sebuah kamar, ada seorang gadis yang sedang tidur memakai selimutnya. Ia terbangun karena kakanya berteriak membangunkannya.)
Mbak Ika         : “Ratih... Ratih... Bangun!” (berteriak sambil melepaskan selimut yang sedang dipakai Ratih)
Ratih               : “Malas..” (menjawab dengan cuek. Melihat ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul 4 pagi sambil merapatkan selimut)
Mbak Ika         : “Ayo bangun! Jangan malas-malasan begitu..” (mengucapkannya dengan kasar dan sambil melepaskan lagi selimut dari Ratih)
Ratih               : “kenapa sih? Sirik amat” (duduk dan sambil mengucek-ngucek mata)
Mbak Ika         : “Kamu tahu nggak kunci yang aku taruh di meja makan kemarin?”
Ratih               : “Enggak” (menjawab dengan cuek dan sambil mengangkat bahu)
Mbak Ika         : “hmm..... Pasti dia lagi!” (mengucapkannya dengan nada menuduh dan sebal)
Ratih               : “Dia lagi? Dia lagi siapa?”
Mbak Ika         : “Yaah, siapa lagi kalau bukan Emak? Biang keladi semua masalah di rumah ini,” (menjawab dengan sinis)
Ratih               : “Hush!! (jari telunjukknya diarahkan ke depan bibir). Nggak baik bilang seperti itu pada orang tua, kualat nanti.”
Mbak Ika         : “Biarin saja” (langsung membalikkan badan dan berjalan keluar)
Mbak Ika         : “Maak…. Emak!!!” (teriak dan sambil berjalan seperti sedang mencari Emak)
Emak               : “Ada apa Nduk?”
Mbak Ika         : “Tahu nggak kunci yang aku taruh di meja ini kemarin? Itu loh kunci warna putih ang     ada gantungannya berbentuk mawar” (sedikit membentak dan mendesak)
Emak               : “OO… itu…kemarin Emak simpen di laci meja itu mungkin (jari telunjuknya menunjuk ke sebuah meja Emak juga lupa ( menjawab dengan pelan)                                                                                                                                                          
Mbak Ika         : “Makanya! Kalau sudah merasa pikun (jari telunjuknya menunjuk ke keningnya) jangan membenahi barang yang bukan milik Emak. Yang punya barang jadi gila karena bingung mencarinya. (tanganyamenggaruk dan mengacak rambutnya)
Ratih               : “Sudah-sudah, gitu aja ribut (sambil menepuk pundak Mbak Ika) Yang penting kuncinya sudah ketemu. Nggak pantas didengar tetangga, setiap hari ribuut melulu”
Mbak Ika         : “Bukanya gitu. Aku kan nggak akan marah kalau Emak nggak salah (melepaskan tangan Ratih dari pundak). Dasar orang tua! Sudah mulai pikun” (membentak dan marah-marah)
Ratih               : (menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi kecewa)
Emak               : (beranjak ke dapur sambil membungkukan badan dengan wajah sedih)
Ratih               : (sepulang sekolah, memasuki halaman rumah dengan wajah jengkel)
Mbak Ika         : “Mak!!! Emak!!” (berteriak dan berjalan mencari Emak)
Ratih               : “Hmmm…. Pasti ada yang tidak beres…” (berlari mencari Emak dan Mbak Ika)
Mbak Ika         : “Lihat baju ini! “ (sambil menyodorkan baju ke hadapan Emak dengan wajah jengkel)
Emak               : “Ada apa dengan baju ini? “
Mbak Ika         : “Ada apa, ada apa, masa nggak liat ada apa di baju ini. Lihat! (menunjukkan sebuah baju itu ke hadapan Emak) apa ini?? ”
Emak               : “Nggak tahu Nduk“ (sambil menggeleng-gelengkan kepala)
Mbak Ika         : “Nggak tahu? Nggak tahu gimana?? (dengan muka sangat jengkel) tadi saat aku cuci nggak ada noda kaya gini. Tapi kok sekarang ada? (marah-marah) siapa tadi yang mengambil dari jemuran? “
Emak               : “Emak-emak”
Mbak Ika         : “Nah! Sekarang ngaku aja kalau Emak yang membuat noda di baju ini! “ (menunjuk dan menatap sinis Emak)
Emak               : “Benar Nduk, Emak memang nggak tahu (menggelengkan kepala). Untuk apa Emak bohong sama kamu?
Mbak Ika         : “Halaahh!!! (mendorong Emak dengan kasar). Sudah sekarang pokoknya harus dicuci samapai bersih. Awas! Kalau nanti nodanya nggak hilang, nggak aku beri uang belanja buat besok! “ (menunjuk ke wajah Emak dan mentap Emak dengan tajam)
Ratih               : “Sudahlah biar aku saja yag mencuci baju itu” (tanganya diarahkan untuk mengambil baju itu)
Mbak Ika         : “Nggak perlu! (tangan Ratih disingkirkan dari baju itu dengan kasar). Orang tua seperti ini perlu diberi pelajaran supaya jera!” (membentak Ratih dan Emak)
Ratih               : (langsung terdiam)
...        
(Di sebuah ruangan, Ratih sedang menonton TV dan tiba-tiba Mbak Ika berteriak memanggilnya)
Mbak Ika         : “Rat, tahu nggak siapa yang membuka lemariku?”
Ratih               : “Enggak tuh.. (mengangkat bahu). Memangnya aku masuk ke kamar Mbak..” (menjawab dengan cuek)
Mbak Ika         : “Emak ke mana?”
Ratih               : “Sedang tidur. Jangan diganggu dulu karena Emak agak tidak enak badan”
Mbak Ika         : (berjalan ke kamar Emak)
Ratih               : (mengikuti Mbak Ika ke kamar Emak)
Mbak Ika         : “Mak bangun!! (menggoyang-goyangkan tubuh Emak). Ada hal penting yang akan aku tanyakan..”
Emak               : (terbangun dengan geragapan dan langsung duduk)
Mbak Ika         : “Emak tadi, buka-buka lemari pakaianku nggak?”
Emak               : “Iya. Memangnya kenapa, Nduk?” (agak gugup karena belum hilang rasa kagetnya)
Mbak Ika         : “Nggak ada apa-apa sih. (menggeleng-gelengkan kepala). Tapi, uangku lima puluh ribu rupiah hilang. (sambil mengangkat 5 jari tangannya). Emak yang mengambil?” (dengan nada menuduh)
Emak               : “Kalau masalah uang, Emak tidak tahu menahu, Nduk. (menggelengkan kepala). Dan Emak tidak mengambilnya, betul Nduk. (menganggukkan kepala dan menjawab dengan melas)
Mbak Ika         : “Halaahh!! Jangan pasang muka nggak  berdosa kayak gitu. Aku yakin, pasti Emak yang mengambil, siapa lagi?? (menunjuk Emak dengan telunjuknya dan menatap dengan sengit). Namanya pencuri di mana-mana pun tidak akan ngaku kalau nggak disiksa dulu”
Emak               : “Aduh, Nduk, kamu nggak percaya” (Emak mulai menangis)
Ratih               : “Iya Mbak. Masa nggak kasihan sama Emak. Jangan menuduh dulu sebelum ada bukti”
Mbak Ika         : “(mengambil sapu). Ngaku nggak?! Ayo ngaku, ngaku, ngaku, ngakuuu!!” (berteriak dan sambil memukuli Emak dengan gagang sapu)
Emak               : “Aduh Nduk, sakiiit...” (kesakitan dan tangannya diangkat menghindari pukulan)
Ratih               : “Mbak!! (menyingkirkan gagang sapu yang dipegang Mbak Ika). Kamu ini punya otak nggak ha?! (jari telunjuknya menunjuk ke kepala). Dibilang sudah besar tapi nggak punya pikiran, dibilang masih kecil tapi badannya sudah bongsor. Kamu ini kejam. (jari telunjuknya menunjuk Mbak Ika). Sakiit tahu, sakiit. (mengelus-ngelus tubuh Emak yang dipukuli tadi). Apa kamu mau dipukuli seperti itu” (berteriak dengan penuh amarah)
...
Mbak Ika         : “” Rat, Emak nggak apa-apa kan?! (sedikit gugup dan khawatir)
Ratih               : (hanya diam tetapi matanya melihat ke arah Mbak Ika)
Emak               : “Ik.... Ika...” (mengucapkan dengan lirih, pelan, dan lembut)
Mbak Ika         : “Ya, Mak” (menjawab dengan pelan dan berjalan menuju kamar Emak dan Ratih menguntitnya dari belakang)
Emak               : “Syukurlah kalau kamu sudah datang. Emak hanya ingin minta maaf atas segala perbuatan Emak yang kau anggap salah. (tangannya diarahkan ke dada), Nduk, selama ini Emak merasa tidak pantas menjadi ibumu. (mengelus-ngelus rambut Mbak Ika), sebenarnya Emak haus akan kasih sayangmu, Nduk. Tapi bila kamu memang tidak menghendaki kehadiran Emak, ya tidak apa-apa.. (menggelengkan kepala)”
Mbak Ika         : (menatap Emak dengan penuh penyesalan akan kesalahannya)
Emak               : “Emak sudah memaafkan segala perbuatanmu pada Emak (memegang pundang Mbak Ika). Dan Emak tidak menyalahkan kamu, Nduk. Karena itu Nduk, karena itu hanyalah luapan amarah semata. Emak hanya minta agar kamu tidak mengulanginya lagi (menggelengkan kepala dan mengelus rambut Mbak Ika). Rukun-rukunlah kamu dengan adikmu” (menatap Mbak Ika dengan penuh kasih sayang)
...
Mbak Ika         : “Iya, Mak. Aku pun juga mau minta ....”
Ratih               : “Maaaaak!!” (memotong ucapan Mbak Ika dan berlari ke arah Emak dan langsung terduduk melihat ke arah Emak yang terkaku serta memeluk erat Emak)
Mbak Ika         : “(lunglai dan jatuh bersimpuh. Menciumi kedua kaki Emak) Maakk..... Emaakkk..........”
~Selesai~

By           : Rafiqah Nur Viviani